Kamis, 19 Agustus 2010

DEPOK MENUJU KOTA PENDIDIKAN

Biasanya orang mengenal Depok karena keberadaan Universitas Indonesia (UI) yang amat masyhur. Keberadaan universitas kebanggaan nasional itu sedikit banyak membentuk image Depok sebagai kotanya orang-orang intelek, ditambah lagi dengan jumlah sekolah SD/MI hingga SMA/MA yang hampir menembus angka 1000. Pada tahun 2010 saja, tercatat jumlah peserta UN dan UASBN sebanyak 98.137 siswa, angka yang tidak sedikit. Hal-hal di atas kemudian menjadi inspirasi lahirnya wacana Depok sebagai ‘Kota Pendidikan.’

Sungguh sebuah cita-cita yang luhur menjadikan Depok sebagai ‘Kota Pendidikan’. Bahkan kalau bisa, bukan hanya Depok, namun seluruh kota-kota yang ada di Indonesia dijadikan ‘Kota Pendidikan’. Sehingga Indonesia tercinta ini mendapat predikat baru pula sebagai ‘Negara Pendidikan.’

Konon, saat ini Finlandia dipercaya sebagai negara paling serius dalam pembangunan pendidikan warganya. Bukan hanya pendidikan formal, pendidikan non formal pun menjadi bagian dalam paket pendidikan nasionalnya. Saking seriusnya, lama jam kerja diatur sedemikian rupa sehingga tiap orang tua mempunyai waktu yang sangat cukup untuk mendidik dan bergaul dengan anak-anaknya di rumah. Lebih dari itu, setiap ibu yang hamil dan menyusui diwajibkan cuti beberapa bulan untuk menjamin keselamatan serta kesehatan sang ibu dan jabang bayi, sebagai bentuk pendidikan awal dari orang tua yang bertanggung jawab kepada anak-anaknya. Hebatnya, selama cuti bersalin itu negara menanggung segala biaya hidup sebagai kompensasi berkurangnya pendapatan dari tempatnya bekerja. Bisakah Indonesia seperti itu? Bisakah Depok seperti itu?

Dalam bidang pendidikan formal, Pak Nur Mahmudi, Walikota yang saat ini menjabat, boleh berbangga. Bukan hanya karena Universitas Indonesia (UI) berhasil menjadi perguruan tinggi kelas dunia. Namun karena selama masa kepemimpinannya telah banyak prestasi luar biasa yang ditoreh para pelajar sekolah dasar dan menengah di wilayahnya. Beberapa contoh saja, pada Agustus ini akan/telah diberangkatkan duta Indonesia asal Depok pada ajang Olimpiade Komputer di Kanada, dan dua siswi Madrasah Aliyah, Hanifah dan Thifa, yang sukses membuat robot unik yang berhasil menarik perhatian para peneliti badan antariksa nasional Amerika, NASA.

Masih dalam ingatan, beberapa waktu sebelumnya, seorang pelajar SMA di Depok juga berhasil membawa pulang medali emas dari Kompetisi Robot se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Surabaya (ITS). Bahkan, selama rentang 2006—2010 ini, beberapa kali pula pelajar-pelajar Kota Depok bertolak ke luar negeri untuk mengikuti berbagai olimpiade tingkat dunia, diantaranya olimpiade fisika di Turki, olimpiade biologi di Azerbaijan, olimpiade matematika di Kazakhstan, dan olimpiade komputer di Rumania. Hampir semua ajang-ajang internasional tersebut berhasil ditaklukkan dengan menggondol medali emas, perak atau perunggu.

Dalam rangka mewujudkan komitmen pada bidang pendidikan, dari berbagai sumber diketahui pula bahwa Pemda Kota Depok telah menandatangani MoU kerjasama bidang pendidikan dengan beberapa universitas, diantaranya Universitas Pembangunan Nasional (UPN). Penandatanganan tersebut disaksikan oleh para Lurah dan Camat se-Kota Depok.

Kemajuan-kemajuan bidang pendidikan yang berhasil diraih Kota Depok membuat sebagian masyarakat menyebut Depok sebagai ‘Kota Pelajar’ atau ‘Kota Pendidikan’. Sungguh gelar yang membanggakan, namun juga memprihatinkan.

Masalah-masalah Dunia Pendidikan di Depok

Masalah-masalah Dunia pendidikan seperti rendahnya SDM guru dan kurangnya sarana-prasarana belajar sudah menjadi topik klasik. Berikut beberapa topik lain yang menjadi permasalahan dunia pendidikan di Kota Depok :

a. Biaya sekolah mahal.

Pada Harian Equator edisi 6 Agustus 2010 halaman pertama kolom ketiga, dituliskan bahwa dalam bidang pendidikan, Depok telah menggratiskan biaya SD dan SMP. Pemberitaan ini tidak salah. Memang sejak beberapa tahun lalu, Pemda Depok nyata sekali upayanya dalam menggratiskan biaya pendidikan dasar sembilan tahun melalui berbagai subsidi. Namun fakta yang ada, ternyata sekolah-sekolah gratis tersebut hanya terbatas pada sebagian besar sekolah negeri. Artinya, ada pula beberapa sekolah negeri yang memungut iuran dari orang tua. Sedangkan untuk sekolah swasta, kata ‘gratis’ itu masih dirasa sebagai mimpi yang tinggi mengawang, padahal 80% pelajar di Depok melanjutkan studi ke sekolah-sekolah swasta.

Sekolah-sekolah negeri yang tidak gratis itu umumnya adalah sekolah-sekolah unggulan. Bahkan ada sekolah yang berstatus SSN dan RSBI konon mematok uang iuran ratusan ribu dan uang pangkal jutaan rupiah. Akhirnya, sekolah-sekolah bagus hanya bisa dimasuki oleh anak-anak orang kaya saja.

Ada juga sekolah yang biaya masuknya jutaan rupiah, iuran per bulannya ratusan ribu rupiah, ruang kelas ber-AC, tidak menolak subsidi BOS atau subsidi-subsidi lainnya, namun tak satupun siswanya yang pernah melihat mikroskop, apalagi memegang atau menggunakannya ! Bahkan bukan hanya ‘gagap teknologi’, lebih parah lagi, perpustakaan pun rupanya tak punya. Ternyata biaya mahal tak selalu berbanding lurus dengan mutu.

b. Angka putus sekolah tinggi.

Dari berbagai sumber, saya mendapat informasi bahwa tahun 2010 ini rata-rata anak sekolah di Depok adalah 10,66 tahun dari 12 tahun yang ditargetkan. Namun berdasar data tahun 2010 yang dipublikasikan Dinas Pendidikan Nasional Kota Depok, diketahui bahwa jumlah siswa SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) atau Ujian Nasional (UN) sebanyak 65.313 orang siswa SD, 19.751 orang siswa SMP/MTs, dan 13.0733 orang siswa SMA/MA. Artinya, jika penambahan sekolah baru atau ruang kelas baru tidak luar biasa setiap tahunnya, maka hanya sekitar 33% siswa SD/MI yang bisa melanjutkan ke jenjang SMP/MTs, hanya sekitar 65% siswa SMP/MTs yang bisa melanjutkan ke jenjang SMA/MA, atau hanya sekitar 20% siswa SD/MI yang berhasil melanjutkan sekolah hingga ke jenjang SMA/MA (tuntas belajar 12 tahun).

c. Upah guru swasta rendah.

Berbeda dengan guru PNS yang gaji bulanannya cukup memadai, saat ini masih ada guru sekolah swasta yang diupah Rp. 5.000 hingga Rp.10.000 per 40 menit tatap muka (saya lebih banyak memfokuskan pada guru dan sekolah swasta karena merupakan mayoritas guru dan sekolah di Depok). Bandingkan dengan standar hidup minimum yang ditetapkan WHO untuk negara-negara berkembang yang sebesar $.US 2 perhari !

Ada pula guru swasta dengan status Guru Tetap namun tidak mendapat gaji tetap, melainkan semata-mata dihitung berdasar hari kerja. Maka setiap musim liburan tiba, terutama libur akhir tahun dan libur puasa-Idul Fitri, ditengah kebutuhan belanja yang tinggi, justru pendapatan mereka malah menurun drastis. Sungguh ironi, padahal sebagian besar guru di Depok berstatus guru swasta dan tidak sedikit diantara guru swasta itu merupakan sarjana-sarjana lulusan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dahulu Oemar Bakrie berpakaian batik dengan pin Korpri di dadanya, kini Oemar Bakrie tak pernah pakai pin bahkan kadang tak punya baju batik !

Guru swasta pun tak pernah diikutkan dalam berbagai perlombaan guru prestasi atau pelatihan-pelatihan dengan biaya negara sehingga ketakberdayaan dan keunggulan potensinya tak pernah diketahui. Saya pribadi ragu, jangan-jangan jumlah pastinyanya pun tak terdata oleh dinas terkait. Ya, mau dikata apa, sudah miskin diabaikan pula.

d. Sertifikasi guru terkesan diskriminatif.


Sesungguhnya sertifikasi adalah impian semua guru, terutama guru swasta yang upah bulanannya relatif kecil karena Pemerintah menjanjikan uang tunjangan yang tidak sedikit jumlahnya. Namun, saat daftar nama peserta sertifikasi guru diumumkan, daftar tersebut selalu didominasi guru-guru PNS. Konon, hal demikian dikarenakan data guru swasta tidak valid. Banyak ditemukan pemalsuan masa kerja. Mr. x masa kerjanya ditulis 7 tahun padahal sejatinya hanya 3 tahun. Ada pula oknum y yang sama sekali bukan guru tapi tertulis sebagai guru dengan masa kerja 5 tahun. Setelah diusut, ternyata y adalah keluarga pemilik sekolah yang dengan kekuasaannya berbuat semaunya.

Sungguh perbuatan pencurian (pencurian hak orang lain) yang Mr.x dan y lakukan amat merugikan ribuan guru-guru swasta lain yang jujur dan berhak. Namun kepada petugas di Dinas Pendidikan yang menangani sertifikasi ini, agar terus melayani dengan sabar dan amanah serta tetap teliti karena tugas yang Anda lakukan sangat penting dan amat membantu ratusan-ribuan guru yang jujur dan berdedikasi. Pemalsuan data ini harus segera diusut oleh Dinas Pendidikan dan jangan dianggap remeh ! Petugas terkait hendaknya tidak segan-segan melakukan cross cek dengan laporan bulanan sekolah di tahun-tahun sebelumnya.

e. Pungli.

Pungli atau pungutan liar diduga banyak terjadi dalam dunia pendidikan di Depok. Sekali waktu semoga pihak berwenang memeriksa keutuhan dana-dana bantuan yang diterima sekolah, apakah berkurang atau utuh. Berbagai bantuan pemerintah yang rawan dijadikan proyek cari untung oknum misalnya program pembangunan sekolah, renovasi, dan kucuran dana RSBI.

f. Kunci jawaban UN bocor.

Setiap tahun kunci jawaban UN selalu bocor. Hal ini dapat diketahui berdasarkan informasi langsung dari para siswa dan barang bukti yang dengan mudah bisa didapatkan beberapa saat setelah UN berakhir. Atau berdasar tes ulang yang dilakukan pihak sekolah. Menurut informasi dari kalangan siswa, Kunci jawaban UN itu umumnya didapat dari teman, hanya sebagian kecil yang mengatakan didapat dari oknum sekolah. Ada pula kunci jawaban yang didapat selalui SMS nyasar pada beberapa jam sebelum UN dimulai, bahkan ada pula yang didapat dengan membeli pada penjual yang tiba-tiba datang menjajakan begitu saja. Tidak heran seorang siswa bisa mendapatkan tiga versi jawaban untuk soal yang sama! Diduga, kebocoran sudah terjadi sejak di percetakan. Tapi yang jelas, UN nampaknya makin menjadi proyek cari untung bersama oleh berbagai pihak.

g. Kurangnya pembinaan kepada yayasan sekolah swasta.

Sebagian besar sekolah-sekolah di Depok adalah sekolah swasta. Sebagaimana dimaklumi, pemegang otoritas tertinggi di sekolah swasta bukanlah Kepala Sekolah, melainkan pengurus yayasan. Pengurus yayasan dapat saja sedemikian jauh mengendalikan sekolah, termasuk mengendalikan aliran dana-dana subsidi pemerintah yang seharusnya dikelola penuh oleh Kepala Sekolah. Celakanya hal ini seolah tidak dimaklumi pihak pemberi dana. Tak adil kiranya sementara dana-dana itu dikuasai pihak yayasan, namun Kepala Sekolah yang harus mempertanggung jawabkannya secara hukum.

Yayasan penyelenggara sekolah perlu mendapat pembinaan akan hak, tugas, dan kewajibannya, misalnya tentang lingkup kewenangannya dalam pengelolaan dana subsidi pemerintah, tentang manajemen SDM, tentang etika organisasi, tentang upah/honor/gaji guru dan pegawai, serta tentang komitmen kepada pembangunan pendidikan agar tak terjebak pada motivasi bisnis semata.

Semoga Depok segera berbenah menyelesaikan segala permasalahan dunia pendidikan di atas sehingga cita-cita Depok sebagai ‘Kota Pendidikan’ bukan sekedar pepesan kosong.

(Penulis pernah berdomisili di Depok pada 2004—2009)